Saat kecil, kumerasa aku adalah anak yang paling bahagia. Minta ini dituruti, minta itu diberi. Kasih sayang ibu kepadaku juga begitu besar. Tidak sampai ibu memarahiku, apalagi memukulku.
Namun saat usia beranjak empat tahun, saat itu juga aku mulai mengenal bangku sekolah. Bukan sekolah tepatnya, tapi bermain. Mengenal beberapa teman dan dua orang dewasa yang selalu mengajari kami ditempat itu. Baru kutahu kalau dua orang dewasa itu disebut ibu guru. Ibu masih saja setia dengan kasih sayang yang diberikan padaku. Namun, kurasakan kasih sayang itu kian luntur.
Ibu jadi sering memarahiku, bahkan tidak segan mencubit bagian tubuhku ketika beliau memerintahkan sesuatu namun tidak kuindahkan karena aku lebih asyik bermain. Aku sering menangis dan menganggap ibuku jahat. Belum lagi, saat aku terlibat pertengkaran dengan seorang teman. Ibu tidak pernah membelaku, justru beliau memarahiku. Tidak jarang kurasakan kebahagianku yang dulu telah hilang. Kini aku merasa menjadi anak yang tidak dekat dengan kebahagian seiring dengan perilaku ibu yang sering memarahiku dan tidak sesering dulu menuruti permintaanku. Kenapa Ya Allah… kini ibuku tidak sayang lagi padaku…
Namun pengaduanku kepada Allah itu serta merta terjawab saat kurasakan belaian lembut di kepalaku ketika aku tertidur setelah sempat kurasakan kemarahan ibu sebelumnya. Apakah ibu menyesal karena telah marah padaku?? Ah…dalam hati aku berkata damai, ‘ternyata ibu masih sayang padaku!!’ Tapi apakah aku masih merasa menjadi anak yang paling bahagia??
Saat usiaku mulai mengajakku untuk sedikit berfikir, saat itu pula kusadari bahwa ibu telah mulai tidak jujur padaku. Begitu banyak kebohongan yang ibu katakan…
Kondisi ekonomi keluarga terpaksa mengajak kami untuk tidak dapat merasakan kenikmatan berlebih dalam hal materi seperti orang-orang lain. Ketika makan, sering kali ibu memberikan sekedar nasinya untukku. Seraya memindahkan ke dalam piring kecilku, ibu berkata, ”Makanlah nak, ibu masih kenyang…” (KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA)
Suatu siang terik, masih di bangku sekolah yang lebih kuanggap tempat bermain. Kulihat ibu telah setia menungguiku dibawah pohon sawo. Saat kuhampiri, kulihat peluh yang meleleh disekitar wajah ibu. Dengan cekatan ibu menggendongku dalam perjalanan pulang. Kulihat, peluh semakin banyak diwajah bahkan sekujur tubuh ibu. Saat aku minta turun untuk jalan sendiri, ibu berkata, ”Tidak usah nak, ibu tidak capek…” (KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA)
Masih kuingat saat malam mulai merayap, hujan lebat menerpa pohon-pohon, hembusan angin menerpa dedaunan, dan hawa dingin mulai menusuk tulang. Kami berdua tidur diatas kasur kusam dan berselimutkan kain tipis. Kurasakan ibu menyelimutiku dengan rapat. Saat kulihat ibu tidak berselimut, ibu berkata, ”Lekaslah tidur anakku, ibu tidak kedinginan…” (KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA)
Ketika telah menduduki sekolah dasar, aku mengikuti upacara hari kemerdekaan di lapangan sekolah. Kulihat ibu setia menunggu diantara ibu-ibu yang lain. Ketika usai, kuhampiri ibu yang dengan senang hati menyambutku. Diulurkannya kepadaku segelas es teh manis untuk segera kuminum. Aku memang berpeluh, namun ibuku juga tidak kalah berpeluh. Setelah kuteguk beberapa, kuulurkan kembali kepada ibu bermaksud mempersilahkannya minum. Namun sambil tersenyum ibu berkata, “Habiskan saja, ibu tidak haus…” (KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT)
Pagi-pagi, kulihat ibu telah tiba dari pasar. Dalam tas yang dijinjingnya, ibu keluarkan sebungkus ikan basah yang dibeli tadi di pasar. Ibu beli ikan…aku senang bukan main. Begitu juga ibu, kulihat senyumnya mengembang. Segera dimasaknya ikan itu. Begitu aku tiba dari sekolah, telah terhidang sepiring nasi dengan sayur bayam dan sepotong ikan goreng. Dengan lahap aku menyantapnya karena tidak sering aku merasakan seperti ini. Kuperhatikan ibu makan disampingku hanya dengan sayur bayam dan sedikit sambal. Ketika kuambilkan sepotong ikan di piring, ibu menolak dan mengembalikannya. Ibu meneruskan makan, dan demi melihatku yang memandangnya beliau berucap, “Teruskan makanmu, ibu tidak suka ikan…” (KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA)
Saat ujian tiba, aku benar-benar mempersiapkan semuanya. Aku tidak mau mengecewakan ibu yang telah tulus atas semua yang diberikannya padaku selama ini. Aku belajar dan berdo’a tak henti-hentinya supaya dapat lulus sekolah dasar dan melanjutkan ke tingkat selanjutnya. Tiba mata pelajaran kesenian yang besok akan diujikan, aku menambah porsi belajarku mengingat aku tidak terlalu mahir dalam pelajaran ini. Hingga larut malam, ibu masih menemaniku. Setelah lelah, akhirnya aku memutuskan untuk menyudahi belajarku dan beranjak tidur. Namun kulihat ibu pergi ke dapur dan menyiapkan kotak makan serta perlengkapan lainnya untuk kubawa ke sekolah besok. Ketika akan kubantu, ibu menjawab, “Cepatlah tidur. Besok kamu akan ujian, biar ibu saja yang menyiapkan semuanya. Ibu tidak ngantuk…” (KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM)
Ujian usai, dan akan diadakan program study tour. Semua teman menyambut dengan gembira. Saat kusampaikan hal ini kepada ibu, kulihat ibu sedikit merenung. Aku tahu ibu tidak punya biaya untuk itu. Beberapa malam berikutnya, disaat teman-temanku membicarakan soal study tour aku tidak berani bicara soal itu pada ibu. Aku lebih memilih diam, takut kalau menyakiti hati ibu. Namun ketika acara study tour hampir tiba, ibu bicara padaku, “Kalau mau ikut, ikut saja. Tapi ibu tidak bisa memberi bekal lebih.” Kujawab, “Tidak usah bu, tidak ikut juga tidak apa-apa kalau memang kita tidak ada biaya.” Namun ibu menjawab dengan lembut, “Tenang saja, ibu punya duit…” (KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH)
Ya Allah, hanya demi melihatku bahagia…
Penerimaan rapor usai. Dengan bangga kubuka lembar demi lembar raporku untuk kutunjukkan pada ibu. Tertera sebuah angka disana yang menunjukkan rankingku. Dengan senyum gembira ibu memelukku hangat dan membelai kepalaku yang masih berbalut jilbab seragam. Tidak sulit memang menorehkan angka yang ada di raporku itu. Namun betapa sulitnya untuk menggerakkan tangan seorang guru untuk kemudian membentuk angka lurus dalam rapor. Ya, aku ranking satu bu… inilah hadiah untukmu. Setelah pengorbananmu padaku. Do’amu dan nasehatmu senantiasa mengalir tanpa kuminta. Bagai sebuah mata air yang mengalirkan airnya tanpa mengharap air itu akan kembali pada sumbernya.
Setelah semua kebohonganmu, sempat membuat hatiku terenyuh. Namun, itu jualah yang membuat hatiku kuat dan semangat untuk bertekad. Aku tak tahu sudah berapa ribu kebohongan serupa yang kau lontarkan selama ini. Selama beberapa tahun belakangan ini. Kuyakin sudah sangat banyak. Dan sampai kapan kau akan terus berbohong, aku tak tahu.
Maka karena itu, aku mengerti mengapa Allah memerintahkan manusia untuk berbakti kepada orang tua, terutama kepada ibu. Pengorbanan ibu takkan dapat kita balas. Ya Allah, tunjukkan aku untuk mensyukuri nikmat Engkau.
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang tuanya (ibu dan bapaknya), ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a, "Ya Tuhanku, tunjukkan aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS. Al-'Aĥqāf:15)
Diataptasi dari: Bukhori Ahmad's Note
No comments:
Post a Comment