"Apa beda jejak Syeikh Nawawi di Makkah dengan orang Banten sekarang dan dahulu ketika tinggal di Makkah?", tanya seorang petugas pelayanaan jamaah haji kepada pemilik Kedai Bakso Si Doel yang bernama Suwanda di Makkah. Lawan bicaranya tak bisa menjawab. Berulang kali Suwanda berusaha keras berpikir, namun sayang seribu sayang tak ada jawaban keluar dari pikirannya.
"Kalau ingin tahu, dulu orang Banten ke Masjidil Haram kebanyakan untuk belajar dan berhaji, sekarang untuk jualan bakso.", kata petugas pelayanan jamaah haji itu. Mendengar jawaban itu, Suwanda hanya bisa nyengir. Sindirian itu begitu telak masuk ke hatinya.
Bercermin kepada Para Ulama' memang penting. Namun kali ini kita akan bercermin kepada salah satu dari Ulama' yang lahir tidak jauh dari kita, yaitu lahir di Banten. Salah satu dari Ulama' itu adalah Syaikh Nawawi Al-Bantani bin Umar bin Araby(1814 - 1897) yang hidup di abad 19 dan mengajar di Masjidil Haram. Nawawi Al-Bantani mengaji ilmu sejak masa kecil dan memperoleh didikan ilmu dari ayahnya yang mengajarinya ilmu nahwu, fiqh, dan tafsir. Berkat bakat dan kecerdasan yang Allah karuniakan serta bimbingan ayahnya, Nawawi ini telah hafal Al-Qur'an sejak kecil. Dan pada usia yang masih belia yaitu 15 tahun, Nawawi Al-Bantani berani menempuh perjalanan lintas benua.
Nawawi Al-Bantani menuju Mekkah untuk memperdalam ilmunya. Usai berhaji ia pun bermukim di tanah suci. Selama tiga tahun di tanah suci ia belajar ilmu kepada Ulama Masyhur di Masjidl Haram. Akhirnya pada tahun 1832 M, Nawawi Al-Bantani pulang dari tanah suci ke tanah air. Pada saat kembali ke tanah air, ia mengganti almarhum ayahanda mengasuh pesantren di Banten yang saat itu Banten dalam cengkaraman penjajah Hindia-Belanda. Dan terhadap kolonialisasi saat itu Nawawi Al-Bantani bersifat tidak agresif dan tidak reaksioner. Ia fokus pada dunia ilmu, membimbing para santrinya, dan menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT dari pesantren. Kosentrasinya jauh lebih menarik saat ia memutuskan hijrah ke Makkah untuk menimba ilmu. Menimba ilmu kali ini benar-benar hijrah menetap di Makkah selama tiga puluhan tahun. Talenta cerdas dan ketekunan mengantarkan KH Nawawi Al-Bantani menjadi murid yang menonjol di lingkaran ilmu Masjidil Haram. Tatkala Imam Masjidil Haram Mekkah beranjak uzur, beliau menunjuk KH Nawawi Al-Bantani menggantikannya sebagai Imam Masjidil Haram. Selain Imam Masjidil Haram, ia juga mengajar ilmu dan halaqah (diskusi ilmu) di Masjidil Haram.
Sejak itu dia menyandang gelar Syaikh, Syaikh Nawawi Al-Bantani. Ia memberi pengajaran mulai jam 07.30 hingga 12.00 menurut laporan Prof. Snouck Hurgronje. Sarjana orentialis pada tahun 1884 - 1885 menyisiri Makkah untuk kepentingan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda juga menyelidiki aktivitas pengajaran Syaikh Nawawi Al-Bantani di Masjidil Haram. Meski jauh dari tanah air, aktivitasnya di Makkah terus diintai kolonialis Belanda. Banyak orang dari berbagai penjuru berguru kepada Syaikh Nawawi Al-Bantani termasuk dari tanah airnya. Hingga banyak para muridnya menjadi ulama besar pula, seperti: KH Khalil Bangkali Madura, KH Asy'ari Bawean Madura, KH Asnawi Kudus, KH Tubagus Bakri, KH Aryad Thawil Banten, KH Hakim Asy'ari Jombang, KH Perak Daud Malaysia. Mereka mendedikasi hidup sebagai guru di pesantren salaf. Karenanya pantas bila Syaikh Nawawi Al-Bantani disebut guru besar (The Great Scholar) pesantren salaf. Menyandang gelar seperti itu memang panta baginya, karena penguasaannya terhadap ilmu yang membentang luas, meliputi tafsir Al-Qur'an, hadist, tauhid, tarikh islam, fiqh, tata bahasa arab, dan akhlaq.
Syaikh Nawawi Al-Bantani termasuk ulama masyhur pada abad 14 H (19 M). Ia sering disejajarkan dengan kebesaran Imam Nawawi, tokoh ulama madzhab Syafi'i dan penulis Syarah Shahih Muslim & Riyadhush Shalihin. Meskipun ia digelari sebagai Imam Nawawi kedua, ia tetap digelari Syaikh Nawawi dan bukan Imam Nawawi.
Di akhir hayatnya, ia begitu produktifnya hampir-hampir tidak mengajar langsung murid-muridnya. Hal itu berlangsung selama 15 tahun karena ia sepanjang harinya mencurahkan diri menulis kitab-kitab dengan sangat produktif. Sejarahwan telah mencatat bahwa Syaikh Nawawi Al-Bantani telah membukukan kandungan ilmunya dalam 115 kitab. Dictonary of Arabic Printed Books telah mencatat 34 judul buku yang ditulis oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Pada tanggal 25 Syawal 1314 H (1879 M), Syaikh Nawawi Al-Bantani menghembuskan nafas terakhir pada umurnya kedelapan puluh empat.
Apa pun itu, selang seabad kemudian yang muncul memang sedikit berlainan. Dahulu ada Nawawi yang punya nama besar sebagai intelektual dengan ratusan kitab dan murid. Namun, kini ada Suwanda yang punya warung bakso dengan ratusan pelanggan. Zaman memang sudah berubah.